Indeks
Berita  

Pidato Wako Bukittinggi, Warning Terhadap Para Pemangku Adat

BUKITTINGGI- Tokoh masyarakat Nagari Kurai Limo Jorong, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat Syamsul Bahri, SH. St Sampono Ali mengatakan, pidato sambutan Wali Kota
Bukittinggi saat silaturrahmi Pemerintah Kota (Pemko) bersama penghulu adat (ninik mamak), alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan stakeholder di kantor Camat
Guguk Panjang 6 September 2022 lalu merupakan “warning” (peringatan) terhadap semua.

“Selaku masyarakat Minangkabau dikenal arif dan bijaksana, apa yang disampaikan kepala daerah terkait telah terjadinya penurunan nilai-nilat adat dan budaya dikalangan
generasi muda merupakan “warning” terhadap semua, terutama terhadap pemangku adat,” ujar Sampono Ali kepada media ini di Bukittinggi, Selasa (13/9/2022).

Kata dia, jika ditelusuri lebih lanjut, terjadinya penurunan nilai-nilat adat dan budaya terhadap generasi muda disebabkan beberapa kondisi yang terjadi sehari-hari di
lingkungan masyarakat. Diantara kondisi tersebut menurut Sampono Ali akrab disapa Mak Adang ini, adalah komunikasi antara pemangku adat dan generasi muda semakin hari,
semakin tidak terjalin dengan baik.

“Selain itu, pengetahuan sejarah nagari dan adat salingka nagari Kurai semakin minim didapatkan generasi muda serta tidak mendapatkan pengetahauan struktur kekuasaaan
adat oleh para pemangku adat. Tidak adanya program pendidikan Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah secara terstruktur, terencana dan berkesinambungan dari
para pemangku adat kepada generasi muda sebagai generasi penerus. Kemudian, pemangku adat tidak terlibat bersama pemerintah dalam menyusun kebijakan dan perencanaan
pembangunan nagari,” ungkapnya.

Disadari atau tidak kondisi di atas, lanjut Mak adang, sudah lama terjadi di nagari Kurai, namun hingga kini belum ada upaya terprogram dari masyarakat hukum adat
terutama bagi para pemangku adat.

“Bukan itu saja, ada juga masalah lain di depan mata, seperti persoalan persengketaan tanah ulayat nagari dan suku yang tidak mendapatkan penyelesaian menurut hukum
perdata adat oleh para pemangku adat,” ucapnya.

Limbago Adat Formal

Putra asli nagari Kurai itu menyebut, berdasarkan data 2014, jumlah penduduk Kota Bukittinggi kurang lebih sebanyak 117.097 jiwa, dimana 90 persen merupakan masyarakat
hukum adat nagari Kurai. Guna melindungi hak dan kepentingan masyarakat hukum adat yang berjumlah mendekati 100 ribu orang itu, sangat penting adanya Limbago Adat
Formal sebagai mitra pemerintah.

“Sebagai mitra pemerintah, Limbago Adat Formal dapat berperan dalam menyusun program maupun kegiatan. Misalnya pembinaan anak kemenakan dalam menjalankan ajaran adat
salingka nagari Kurai dan termasuk tentunya ajaran agama Islam sesuai filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah,” katanya.

“Selanjutnya selaku mitra pemerintah, Limbago Adat Formal akan berperan mendorong tumbuh kembangnya nilai-nilai budaya di tengah masyarakat nagari Kurai, agar tidak
terpengaruh atau dimasuki unsur-unsur negatif budaya luar,” terangnya seraya mengatakan, Limbago Adat Formal juga dapat melakukan upaya pengawasan terhadap anak
kemenakan dari perbuatan-perbuatan melanggar kaedah-kaedah agama dan adat serta menerapkan pendidikan dibidang nilai adat budaya.

Ia katakan lagi, selain itu, adanya Limbago Adat Formal dalam nagari, maka pemerintah dapat melakukan penguatan dengan mengikutsertakan Limbago Adat saat pengambilan
kebijakan. Misalnya, merumuskan keputusan yang berkaitan dengan penguatan limbago adat dan pelestarian nilai budaya, melibatkan limbago adat dalam merencanakan serta
mensinergikan program pembangunan. “Hal ini sesuai tata nilai adat dan budaya salingka Nagari Kurai,” sebutnya.

Mak Adang katakan, seiring perkembangan zaman, tanpa adanya Limbago Adat Formal yang punya peran dan fungsi, tidak mungkin akan terjadi perlindungan terhadap hak serta
kepentingan masyarakat hukum adat termasuk pelestarian nilai-nilai adat budaya salingka nagari Kurai.

“Mengacu kepada sejarah terbentuknya nagari Kurai termasuk dalam menjalankan pemerintahan adatnya, nagari Kurai sudah mempunyai Limbago Adat dimana struktur kekuasaan
adatnya sudah terbentuk secara turun temurun sejak ratusan tahun silam,” terangnya.

Ia jelaskan lagi, dalam Limbago Adat itu, kekuasaan adat di nagari Kurai dijalankan Penghulu Pucuak Nan Duo Puluah Anam dan Pangka Tuo Nan Saratuih secara bajanjang
naiak batanggo turun (sistem pemerintahan adat secara berjenjang dan tangga turun-red). Hanya saja, lanjut dia, hingga kini sesuai perkembangan hukum nasional,
masyarakat hukum adat nagari Kurai yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak Pandai, bundo kanduang dan parik paga, belum bergerak bersama guna memfungsikan
Limbago Adat Nagari Kurai yang sudah dimiliki secara turun temurun tersebut.

Kata pria yang pernah menjadi abdi negara puluhan tahun itu, mempelajari perkembangan hukum nasional dan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sumatera Barat, dimana
pemerintah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya.

“Hal ini termaktub dalam pasal 1 ayat (3) dan Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 6
tahun 2014 tentang Penguatan Lembaga Adat dan pelestarian nilai budaya Minangkabau,” jelasnya.

“Dengan demikian, maka sudah seharusnya masyarakat hukum adat nagari Kurai mendeklarasikan kembali keberadaan Limbago Adat formal yang sudah dimiliki secara turun
temurun,” sambungnya.

Menurut Mak Adang, untuk melaksanakan deklarasi Limbago Adat Formal tersebut merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat hukum adat nagari Kurai yaitu ninik mamak,
alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan parik paga. Disanalah, kata Sampono Ali lagi, fakta terlihat barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang (berat bersama-
sama memikul, ringan bersama mengangkat-red) sesuai fungsinya masing-masing.

Ia jelaskan, pelaksanaan deklarasi Limbago Adat Formal dapat dilaksanakan dengan tahap kegiatan yakni konsolidasi seluruh masyarakat hukum adat nagari Kurai, baik yang
berada di kampung maupun di perantauan.

“Selanjutnya membentuk panitia, menyusun uraian tugas dan fungsi panitia pelaksana, menyusun draf anggaran dasar anggaran rumah tangga, menyusun draf struktur
organisasi kepengurusan, menyusun draf uraian tugas, fungsi serta pertanggungjawaban pengurus Limbago Adat. Kemudian, menyusun rencana anggaran pelaksanaan deklarasi
dan menetapkan hari, tanggal juga tempat pelaksanaan,” paparnya.

Ditambahkan Mak Adang, dengan berfungsinya kembali Limbago Adat Nagari Kurai secara formal, maka ninik mamak melalui Limbago Adat dapat mengeluarkan peraturan-
peraturan dan keputusan-keputusan mengikat dalam pelaksanaan hukum adat salingka nagari.

“Sedangkan pengurus Limbago Adat dapat menyusun program atau pun kegiatan seperti pembinaan anak kemenakan dalam menjalankan ajaran adat salingka nagari Kurai dan
agama islam sesuai filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Pembinaan tumbuh kembangnya nilai-nilai adat budaya di tengah-tengah masyarakat, agar tidak
terpengaruh atau dimasuki unsur-unsur negatif budaya luar. Pengawasan terhadap anak kemenakan dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kaedah agama dan adat salingka
nagari. Pendidikan nilai adat dan budaya salingka nagari terhadap masyarakat. Penyelesaian sengketa tanah ulayat nagari dan Suku, sesuai hukum perdata adat sebelum
diajukan ke peradilan umum. Juga, perlindungan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat, sesuai hukum adat salingka nagari dan hukum nasional,” terangnya lagi.

Mak Adang yang juga anak kemenakan As, Dt Garang suku Koto ini berharap, terkait deklarasi Limbago Adat Formal hendaknya jadi perhatian serius bagi seluruh masyarakat
hukum adat nagari Kurai terutama para pemangku adat atau ninik mamak guna kelanjutan generasi mendatang.

Pidato Wako Bukittinggi

Sebelumnya, pada silaturrahmi antara Pemko Bukittinggi dengan niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan stakeholder terkait di Kantor Camat Guguk
Panjang 6 September 2022, Wali Kota Erman Safar menyampaikan, bahwa digelarnya silaturrahmi merupakan bentuk keseriusan Pemko akan menerapkan bidang adat dan budaya di
lingkungan masyarakat.

“Saat ini banyak masalah yang tidak tampak namun terasa. Kepedulian di tengah masyarakat pun menurun. Terkait hal itu, maka Bukittinggi harus dibenahi bersama agar
masyarakat termasuk generasi muda bisa menanamkan dalam diri mereka filosofi Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah,” ucapnya.

Menurut Wako, langkah mengamankan generasi muda dari efek negatif perkembangan zaman dan kurangnya etika di tengah masyarakat perlu penambahan muatan lokal di bidang
pendidikan. Hal itu, kata Wako, haruslah dilakukan secara masif.

Dikatakan, banyak generasi muda atau anak-anak tidak tahu akan salahnya. Mereka, tambah Wako, lebih dulu menerima informasi salah dari lingkungan.

“Kita harus bersama kembalikan kebenaran adat, akhlaq atau etika kepada mereka. Ini tanggung jawab kita bersama. Jangan jadikan anak kemenakan kita jadi pecundang di
usia emas mereka,” ucapnya.

Ditambahkan Wako, sejalannya Pemko bersama niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan generasi muda, kedepan Bukittinggi akan mampu melahirkan tokoh
terpandang di negara ini. “Tentunya tokoh itu memiliki akhlaq dan etika yang baik,” harap Wako. (aef)

Exit mobile version