Berita  

MASYARAKAT DALAM KEPUNGAN RIBA, NAMUN KITA TAK MENYADARINYA

Oleh: Dewi Nasukha (Aktivis Muslimah)

Fenomena pinjol (Pinjaman online) di tengah berbagai capaian serta kontribusi industri financial technology (fintech) peer to peer (P2P) legal di Indonesia cukup meresahkan. Hal ini juga menunjukkan realitas di masyarakat kita, bahwa rentenir dalam wujud online mengepung dan menggoda keseharian masyarakat. Apalagi kondisi kesulitan dalam masyarakat ekonomi.

Banyak masyarakat yang tertarik dengan pinjol karena memang ada kebutuhan untuk memenuhi hajat harian, memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Masyarakat umum yang terjerat dengan pinjol adalah pengusaha mikro dan ultra mikro, maka peran dari koperasi kementrian membantu lembaga keuangan mikro (LKM) dan LKM Syariah sangat dibutuhkan dalam hal ini.

Revolusi teknologi digital menjadikan bisnis pinjaman jadi lebih mudah, cepat, dan bisa diakses siapa saja.
Lembaga keuangan yang selama ini ada, perbankan konvensional atau pun yang membutuhkan begitu banyak persyaratan. Pinjol dinilai memudahkan masyarakat untuk mendapatkan sejumlah dana dengan cara piutang dagang. Tanpa jaminan, hanya bermodalkan foto dan KTP, banyak orang akhirnya memanfaatkan layanan keuangan ini. Namun, tidak sedikit yang terjebak dan justru terjerat kerugian karenanya.

AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia) yaitu Asosiasi yang mewadahi para perusahaan pemberi pinjaman secara online menyepakati bahwa bunga pinjol 0,8 persen per hari.
Dalam kapitalisme, Hutang atau pinjaman adalah bisnis bukan aktivitas sosial. Peran lembaga keuangan yang memberi pinjaman mencari keuntungan atau manfaat.
Jika Hutang 1000 harus mengembalikan 1.200 maka yang 200 itu riba.

Riba dalam berpiutang adalah penambahan nilai atau bunga yang melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk ditanam dengan harga.
Sedangkan Islam melawan praktik riba dalam muamalah, termasuk dalam piutang piutang, baik rahasia kecil maupun besar. Semua Hutang yg menghasilkan manfaat, itu riba.
Dalam Islam amalan pinjam meminjam atau piutang merupakan bentuk akad tabarru’ atau kebaikan atas dasar saling membantu membantu yang dianjurkan. Memberi bantuan pinjaman pada sesama adalah amal salih sebagai nilai sosial yang berpahala.

Dan hakikatnya Hutang memang harus dibayar.Adapun keterlambatan atau keringanan dalam pembayaran Hutang bagi yang mengalami kesulitan, merupakan perbuatan yang dianjurkan (mustahab). sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Namun bagi orang yang meminjam apabila dengan sengaja menunda pembayaran hutang kepada yang mampu, hukumnya adalah haram.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melewatkan:
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang yang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya”.
(HR. Nasa’i).
Dalam hadist riwayat lain disebutkan: “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…”.
(HR.Bukhari).
Jika yang berutang meninggal, maka ahli warisnya punya kewajiban untuk melunasinya. Tetapi, bagi orang yang meminjamkan, jika orang yang meminjam uang betul-betul tidak bisa melunasi hutangnya, maka memaafkan adalah suatu perbuatan yang mulia dalam ajaran Islam.

Selain riba, ada bahaya (dharar) dalam transaksi pinjol yaitu; pihak pinjol, khususnya yang ilegal (tidak terdaftar) akan menagih dengan cara intimidasi atau teror. Saat pinjaman terlambat bayar, pinjaman dipermalukan dengan cara fotonya disebarkan melalui aplikasi telekomunikasi ke keluarga hingga teman-temannya.
Kemudian apabila pihak pemberi gagal bayar, maka pihak pinjol akan menagih kepada orang-orang terdekat yang tidak terkait dengan pinjaman, ditambah lagi dengan adanya denda, biaya administrasi dengan jumlah bervariasi yang ditetapkan berdasarkan hadiah pinjaman, di antaranya hingga sebesar 30 persen dari nilai pinjaman .

Dalang atau pimpinan sebuah koperasi simpan pinjam (Pinjol) ilegal yang tertangkap, kemudian pelaku jasa pinjaman online (pinjol) yang ilegal dilegalkan, resmi diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), agar tidak memberlakukan cara-cara yang merugikan masyarakat, tetap saja tidak menyelesaikan masalah.

Berkenaan dengan maraknya Pinjol yang meresahkan, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan beberapa keputusan salah satunya
MUI menyebutkan dalam Ijtima Ulama yang menetapkan aktivitas layanan pinjaman baik offline maupun online hukumnya haram dan menyatakan haramnya semua yang terlibat dengan transaksi riba, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan, dikarenakan terdapat unsur riba, memberikan ancaman, dan membuka rahasia atau aib seseorang kepada rekan orang yang berutang.
Dengan begitu, pihak penyelenggara pinjaman online dan masyarakat umumnya menjadikan fatwa MUI sebagai pedoman dalam semua transaksi yang dilakukan.

Namun Fatwa MUI menjadi kurang memberikan dampak kemaslahatan bagi umat Islam, jika kalangan yang paham akan lembaga keuangan syariah tidak aktif mengedukasi masyarakat akan layanan pinjol yang sudah dinyatakan haram. Dan panggung ulama fiqih muamalah tidak menempatkan atau memegang kekuasaan dalam dakwah.

Maka persoalan utang ribawi melalui pinjol atau lembaga keuangan seperti perbankan tidak akan tuntas selama warga Indonesia masih hidup dalam sistem kapitalisme.
Oleh karena itu, penting dilakukan literasi kepada masyarakat agar memahami lebih teliti perusahaan fintech untuk memenuhi kebutuhannya. Serta memberikan literasi agar masyarakat mempelajari syarat dan ketentuan sebelum menyetujui pinjaman dan tidak berhubungan dengan pinjol-pinjol yang perilakunya bahkan lebih dari garis darat yang kita kenal selama ini.
Pihak pemerintah dan OJK, serta tokoh-tokoh masyarakat seharusnya juga bisa mengingatkan masyarakat luas agar tidak mengadu hedonistik, cepat silau dengan tawaran yang ada tanpa mempertimbangkan risiko-risiko yang akan ditangani dan disimpan kehati-hatian dalam berhubungan dengan pinjol.
Sebagai mayoritas muslim di negeri ini, kaum muslim harus dapat mengingatkan pemangku kepentingan atau pemangku kepentingan untuk melepaskan diri dari segala aktivitas ribawi serta mendorong pemerintah menyediakan lembaga keuangan yang dapat menjangkau lapisan masyarakat paling bawah. Sebab mereka umumnya tidak punya akses ke lembaga keuangan karena tidak bankable (memiliki aset sebagai syarat peminjaman). Bank wakaf mikro yang sejatinya didesain untuk memenuhi kebutuhan (dana) mereka, masih sangat sedikit (Bank Wakaf Mikro), sehingga perlu di adakan lagi.

Menjadikan juga sebagai tantangan, bagi lembaga keuangan syariah agar bagaimana secara masif memberikan pemahaman akan bahaya pinjaman yang tidak bisa didasarkan pada prinsip syariah. Sedangkan bagi umat Islam, hendaknya memilih jasa layanan keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah, atau meminjam pada keluarga, kerabat dan teman yang paham syariah.

Melarang pinjol dan memberikan pinjaman tanpa riba kepada mereka yang memerlukan pinjaman harus dilakukan pemerintah jika mengikuti ajaran Islam, tetapi jika pemerintah yang berpolitik islami itu belum ada, maka sebagai individu harus menghindari pinjaman online dan offline yang tidak paham syariah sehingga menjerumuskan kita ke dalam akad- akad riba yang haram dan merupakan dosa besar serta memberikan kemudharatan.
Larangan (keharaman) praktik riba disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 275, yang artinya:

“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan syaitan dikarenakan (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian, menyebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barang
siapa mendapat peringatan dari Tuhanya , lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya terlebih dahulu (sebelum datang larangan); menjadi miliknya, dan urusannya (terserah) kepada Allah.
siapa yg berulang, kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka abadi di dalamnya”.

Hari ini, aktivitas ribawi eksis dalam sistem sekuler liberal. Pengokohan riba merupakan konsekuensi dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme.
Basis dari lembaga-lembaga keuangan baik fintech yakni bank online ataupun bank offline adalah sumber ribawi yang dijadikan sebagai penopang ekonomi di negeri ini.

Penyelenggara pinjol yang terdaftar dan berizin adalah bukti bahwa negara mengokohkan riba, sebagaimana berdirinya Bank-bank konvensi meskipun gerakan ekonomi syari’ah, itu adalah dorongan atau manfaat bukan akidah atau halal dan haram.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berevolusi akan memerangi orang-orang yang tidak menuruti perintah-Nya untuk meninggalkan riba, dan belum pernah Allah menantang perang kecuali pada pelaku riba. sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an surah Al-Baqarah: 279
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka umumkanlah dari Allah dan Rasulnya.
Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu
. zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)”.

Dampak buruk dari diberlakukannya riba, dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya:
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali”.
(HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu ‘abul Iman).Dalam
hadist lain disebutkan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah berlibur:
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.

Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya”.
(HR: Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
. Ta’ala, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berpindah:
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk di adzab oleh Allah”.
(HR. Al Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Lalu, betapa kita hidup tanpa riba?
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam merindukan:
“Akan datang suatu zaman dimana manusia memakan riba, dan yang tidak memakannya, mereka terkena debunya”.
(HR. Ahmad dan An-Nasa`i).

Islam adalah solusinya

Reliatas banyaknya umat terjerat rentenir tak bisa dipandang sebelah mata, karena ribawi keuangan ini akan berpengaruh pada perekonomian negara dan secara signifikan akan membangkrutkan atau akan membuat ekonomi negara runtuh, dan ini terjadi di setiap negara kapitalis.
Langkah-langkah penanganan yang masif terkait maraknya praktik ribawi ini sangat dibutuhkan.
Publik sesungguhnya sangat membutuhkan kehadiran sistem Islam.

Sistem Islam akan mendidik umatnya, menjadi pribadi-pribadi yang qana’ah (merasa cukup), dan menjauhi diri dari jiwa serakah serta panjang angan-angan.
Sedangkan untuk keperluan bisnis, Islam juga sudah membuka jalan melalui hukum-hukum syirkah. Sistem usaha yang diajarkan Islam adalah riil, mengendapkan usaha dan kerja keras, dan bukan iming-iming atau jualan mimpi.

Hanya sistem Islam yang mampu menghentikan pilar ekonomi berbasis riba dan yang akan mengedukasi masyarakat agar tidak dekat dengan riba, menutup semua aktivitas ribawi dan mengelola semua kekayaan negara sehingga mensejahterakan rakyat. Negara yang sesuai dan bisa menerapkan aturan-aturan Islam secara kaffah (menyeluruh) dan menetapkan syariah itu adalah Negara Islam.