Berita  

Cerbung Merantau Cina Bagian 1

SURAT DARI POLENYA 

Oleh: Rizal Karana

BOYON ndak dapat menahan air mata nan becucuran seperti air pincuran. Hatinya hancur, remuk redam, pikiran balenong ndak menentu, dan pandangan matanya tiba-tiba nanar setelah membaca surat dari polenya, Habibah.

Boyon sama sekali tidak menyangka kalau polenya tega mengirim surat serupa ntun. Ndak ada angin ndak ada hujan, tapi suara petus seakan menggelegar di pangkal turiknya. Habibah tiba-tiba mengirim surat nan diantar melalui ojek online.

Mulanya Boyon sangat senang menerima surat ntun. Disangkanya surat ntun datang dari perusahaan tempat ia melamar kerja. Tetapi ia agak terheran-heran juga melihat surat ntun, karena setelah dibolak-balik, ndak ada alamat pengirimnya, kecuali nama dan alamat si Boyon.

“Jangan-jangan ini surat kaleng,” Boyon membatin.

“Tapi kalau benar ini surat kaleng, mana kalengnya?” tanyanya dalam hati.

“Atau mungkin kalengnya dibawa kabur tukang ojek tadi?”

“Ah…sudahlah, untuk apa pula kaleng ntun, yang penting surat ini sudah sampai,” katanya menghibur diri.

Setelah dibuka, kiranya surat ntun datang dari yayangnya. Tentu saja hatinya tambah berbunga-bunga menerima surat ntun. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Habibah membuat kejutan di pagi hari ini.

Biasanya Habibah kalau ada sesuatu, itu selalu memberi tahu. Atau setidaknya memberi kode dengan bahasa sindiran. Seperti nan teralah, Habibah ndak dapat dihubungi karena hapenya rusak setelah terendam air di tabek gedang waktu menyasah baju.

“Bila si Yudi Kaliang punya hape lagi ya?” tanya Habibah kepada Boyon.

“Kenapa nanya-nanya hape si Yudi, kena hati kamu sama dia,” jawab Boyon sedikit cemburu.

“Ndak, dia kan sering jual hape, mana tau ada yang bagus. Soalnya hape Ibah rusak. Kemaren teloco dari saku langsung masuk tabek,” jawab Ibah sambil kekeh tergelak-gelak.

“Ooo…pantaslah Ibah ndak bisa uda hubungi. Uda sudah buruk sangka saja kemaren, kiranya hape Ibah rusak.”

Tapi janganlah membeli hape dari si Yudi, kata Boyon, karena itu barang panas.

“Nanti bisa-bisa Ibah masuk kandang situmbin pula,” kata Boyon membana.

“Ibah kan beli hape bukan beli goreng, mana pula panas dia,” jawab Ibah sedikit bingung.

“Maksud uda, hape nan dijual si Yudi Kaliang ntun, barang dapat dari menciluk,” jelas Boyon setengah berbisik, sambil membantu Ibah membersihkan biroton di Sawah Lawas.

“Asal tau saja ya, si Yudi ntun sekarang buka CV Dua Jari alias copet,” ucap Boyon sambil meragakan kerutan mengepit pitis. Kali ini benar-benar berbisik agar tak terdengar oleh orang lalu.

Tentu saja Ibah terkejut mendengarnya. Sebab selama ini Ibah perang melihatai Yudi Kaliang, di kampung baik-baik saja. Bahkan dia sering membantu caleg-caleg yang akan memasang spanduk di lapau-lapau.

Seperti kemaren, Uni Rosa, caleg dari Partai Gurinda, hendak memasang baliho di simpang jalan. Tiba-tiba Yudi Kaliang dengan sigap mengumpulkan tiang listrik, seperti beruk manjat batang kelapa, memasang gambar Uni Rosa yang kemat ntun. Meskipun dia pensiunan PNS, namun dia tetap semangat membangun nagari. Ibah terus saja menceracau membela si Yudi.

“Eee…menolong apa kata kamu tu. Bayar tu mah,” potong Boyon. Kalau mau tau cerita, nanti uda ceritakan.

Yang jelas, Ibah ndak boleh beli hape dari Yudi. “Nanti biar uda belikan hape yang baru,” bujuk Boyon, seraya mencium pipi Ibah nan basah oleh keringat.

“Ih…jangan cium-cium pipi Ibah di sini, nanti muncul di orang lalu, dikawin paksanya kita sama orang kampung,” ujar Ibah dengan suara sedikit bergetar.

Itulah pertemuan terakhir Boyon dengan Habibah. Masih terasa hangat pipi bebebnya nan sedikit asin karena diguyur keringat oleh sengatan sinar matahari, saat membangkit sayur wortel. Orang kampung menyebutnya biroton.

Tapi kini apa yang terjadi. Ibah dengan tega mengirim surat yang itu tidak mengerti maksudnya. Ibah ndak berani menyampaikan langsung ke uda Boyon, karena garit nanti uda Boyon pinsan. Celana saja dia kirim surat ini melalui ojek karena dia sudah ndak punya hape lagi.

Mulanya Boyon dengan gembira menerima surat cintanya. Sambil bersiul kecil ia membuka lipatan yang agak rumit, seperti lipatan kertas origami anak sekolah TK saja.

“Ah…ada-ada saja si Ibah. Melipat surat kok seperti ini benar,” gumam Boyon.

Tetapi Boyon benar-benar terkejut membaca surat ntun. Mata terbulalak, keningnya berkerut, dan tiba-tiba kelam memilin. Ia terhanyak duduk karena pusing melihat surat ntun.

Sejak awal kalimat, Boyon sudah curiga dengan surat ini karena, pertama, surat ntun menggunakan tinta merah. Kedua, tidak ada kata-kata sayang di awal, di tengah, maupun di akhir kalimat. Ketiga, ini yang membuat hati Boyon benar-benar sakit hati.

Lambat-lambat, Boyon mulai membaca surat Ibah. Tangannya meretek tak bisa dikendalikan. Inya mulai mengeja huruf demi huruf. (bersambung)

Penulis: Alex armanca Editor: Alex