Islam Dalam Gempuran Media Sekuler

Oleh: Dewi Nasukha

Beberapa bulan lalu (23/5/2023) wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin mengajak media massa se-Asia mengoreksi kebijakan negara agar tetap berlaku adil dan berpihak kepada masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan peran vital media sebagai sumber informasi, pendidikan, dan gagasan sehingga layak mendapat perhatian para pengambil kebijakan. Peran media sangat strategis dalam meningkatkan literasi di level individu, masyarakat, maupun institusi negara agar terbangun kesadaran kolektif.

Wapres juga menggarisbawahi integritas media sebagai salah satu faktor penentu dalam mengatasi tantangan seperti disintegrasi bangsa dan penyebaran hoaks. Menekankan agar media tidak menjadi sarana provokasi yang dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Menurutnya integritas dan kehati-hatian media dalam menyebarkan informasi harus menjadi fokus utama dalam menjaga stabilitas politik negara.

Arahan Wapres kepada media tersebut sangat tendensius, mengingat selama ini faktanya media justru menjadi alat pihak tertentu untuk mencapai tujuannya.
Media yang memiliki peran strategis dalam mencerdaskan umat. Mengungkap kebenaran dan menyampaikan aspirasi umat, justru kebanyakan media hanya menjual sensasi, kritik sarkastis, cerita vulgar, gosip selebritas, kriminalitas, info ataupun cerita-cerita musibah, tetapi kosong dari nilai edukasi.

Berdasarkan pantauan data BBC Monitoring, distorsi fakta di media seluruh dunia telah berlangsung sejak 1930-an. Keran kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi menjadi sumber masalah kesimpangsiuran dan terdistorsinya fakta di media. Tidak ada batas jelas antara berita yang benar dan salah sebab standar kebenaran ada di tangan manusia yang bersifat relatif.
Hal ini tentu menjadi PR negara yang sejatinya paling bertanggung jawab dalam mengatasi persoalan media massa.

Tidak kita pungkiri, media sekuler memiliki misi membangun masyarakat bercorak kapitalistik. Kehidupan sosial didominasi oleh para kapitalis, liberalis, dan kaum hedonis. Sehingga tidak ada lagi norma dan aturan yang patut dihormati.
Ini karena media yang seharusnya melayani kebutuhan informasi masyarakat dikuasai pihak pemodal yang mengedepankan aspek untung rugi daripada aspek baik dan buruk.

Dampaknya, penyesatan opini dari media-media yang mendominasi menimbulkan bahaya di tengah masyarakat. Terlebih jika informasi tersebut bersumber dari media yang selama ini tidak netral dan umumnya cenderung menyudutkan Islam dan Muslim.

Mereka pun berhasil mencerai-beraikan kita lewat opini-opini yang di hembuskan terus-menerus melalui media-media mereka, lewat makar-makar mereka.
Akibatnya pandangan umat Islam banyak yang miring terhadap Islam yg di anutnya. Informasi pun semakin menjauhkan umat Islam dari realitas kaum muslimin sebenarnya.

Fenomena ini juga menampakkan berbagai cacat yang di perlihatkan oleh sebagian umat Islam dalam perkara tauhid, kelalaian umat akan dua ajaran pokok Millah Ibrahim, yaitu, loyalitas dan berlepas diri. Kecendrungan umat kepada orang-orang kafir, kecintaan umat kepada harta dan dunia serta kelalaiannya atas kampung akhirat, juga mengungkap kedok orang-orang munafik dan tipu daya orang-orang kafir.
Hingga bencana, musibah, fitnah, huru-hara yang menimpa dunia lslam di abad ini pun telah menyentuh titik didih dunia Islam.

Sebagaimana yang telah digambarkan Rasulullah Saw dalam sabdanya bahwa;
“Kelak umat ini di kerubuti umat-umat lain sebagaimana orang-orang mengerubuti makanan”.
(HR: Abu Daud)

Karena sebagian besar sumber-sumber berita Internasional di kuasai oleh barat.
Hampir semua media informasi kaum muslimin pun berkiblat dan menukil informasi dari barat.
Opini yang terbentuk di tengah-tengah masyarakat kaum muslimin pun didominasi dan disajikan sesuai dengan skenario dan cara pandang idiologi barat kapitalis.
Adab seorang muslim sejatinya tidak boleh mudah reaktif. Karena hari ini adalah zaman penuh fitnah (ujian), kita banyak diuji dengan informasi. Jauhi berita hoax sebagai bentuk tanggung jawab kita sebagai seorang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah Saw;

“Cukuplah seseorang disebut pendusta jika ia mengabarkan semua yang ia dengar”
(HR: Imam Muslim).

Dalam Islam, insan media harus memiliki framing jelas ketika menyajikan berita, yaitu berdasarkan sudut pandang Islam. Kode etik jurnalis harus dipatuhi hingga berita yang tersebar adalah berita sahih dan bisa dipertanggungjawabkan.

Media massa dalam Islam akan menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas ke-Islaman masyarakat sekaligus sarana dakwah yang mencitrakan kemampuan dan kekuatan Islam. Media berperan strategis dalam perubahan sosial dan kultural.
Etika dalam pemanfaatan media massa, adalah;

Wajib memperhatikan konten yang hendak disebarkan, mengedukasi atau tidak, dan harus mendorong setiap manusia hidup sesuai syariat Islam.
Memastikan konten yang disebarkan bersih dari berita hoax dan unsur penipuan.
Konten harus berisi peringatan agar setiap orang tidak melanggar aturan Islam.

Konten tidak menimbulkan fitnah yang akhirnya merugikan kehormatan orang lain.
Tidak boleh membuka aib orang lain kecuali mengungkapkan kezaliman. Haram mengadu domba seseorang atau sekelompok orang yang berujung pada perpecahan di tengah umat.
Haram menyebarkan konten pornografi/pornoaksi ataupun pelecehan seksual, termasuk LGBT.

Terakhir, berhati-hati dalam menyebarkan informasi. Allah Swt. berfirman dalam Qs: Al-Hujurat ayat 6;

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.(***)