Apa betul mengayamkan jari jemari itu ketika menunggu waktu sholat atau setelahnya dilarang oleh nabi sendiri? Terkadang banyak orang yang menjadi hati-hati setelah membaca dari hadis yang telah nabi sampaikan terkait larangan tersebut, bahkan ada beberapa orang awam memahami hukum dari hadis tersebut adalah haram. Berdasarkan hadis yang mereka baca itu yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasul SAW bersabda,
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدَكُمْ فِيْ بَيْتِهِ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ كَانَ فِي صَلَاةِ حَتَّى يَرْجِعَ فَلَا يَفْعَلْ هَكَذَا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
Artinya: “Jika salah seorang di antara kalian berwudhu di rumah, kemudian berangkat ke masjid, maka dia dalam kondisi shalat sampai dia kembali (lagi ke rumah). Maka janganlah melakukan hal ini.” Dia pun mengayamkan jari-jemarinya (tasybik).“ (Imam Ad-Darimi, nomor hadits 1404) dan (Al-Hakim, nomor hadits 774) , dan hadits ini berstatus shoheh.
Memang dari hadis diatas terdapat larangan dari nabi sendiri tidak boleh Tasybik tersebut. Bahkan hadis diatas dikuatkan lagi oleh riwayat Abu Tsumamah Al- Hannath RA:
أَنَّ كَعْبَ بْنِ عُجْرَةِ وَهُوَ يُرِيْدُ الْمَسْجِدَ أَدْرَكَهُ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، قَالَ : فَوَجَدَنِي وَ أَنَا مُشَبِّكٌ بِيَدَيَّ، فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ وَ قَالَ : إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، قَالَ : إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَهُ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ يَدَيْهِ فَإِنَّهُ فِي صَلَاةِ
Artinya :“Bahwasannya Ka’b bin ‘Ujrah bertemu dengannya saat ia hendak pergi ke masjid. Mereka saling bertemu waktu itu. Ka’b melihatku sedang mengayamkan jari-jemariku (tasybîk), kemudian ia melarangku dan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallâahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: ‘Apabila salah seorang diantara kalian wudhu, membaguskan wudhunya, kemudian pergi menuju masjid; maka janganlah ia mengayamkan jari-jemarinya (tasybik). Sesungguhnya ia dalam keadaan shalat” (HR. Imam Tirmidzi, nomor hadits 386) dan (diriwayatkan juga oleh Albani pada kitabnya). Yakni hadits ini Shahih oleh Imam Albani.
Dan jika kita merujuk kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, mungkin inilah yang membuat orang awam menjadi cemas akan melakukan tasbik itu di dalam ibadah, yaitu
سَأَلْتُ نَافِعًا، عَنْ الرَّجُلِ يُصَلِّي، وَهُوَ مُشَبِّكٌ يَدَيْهِ، قَالَ : قَالَ ابْنُ عُمَرَ : تِلْكَ صَلَاةُ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ
Artinya: “Aku bertanya kepada Nâfi’ tentang seorang laki-laki yang mengayamkan jari-jemarinya (tasybîk) ketika sedang melaksanakan shalat? Maka ia berkata: telah berkata Ibnu ‘Umar: “Itu adalah cara shalat orang-orang yang dimurkai oleh Allah.” (HR. Abu Dawud, nomor hadits 993) dan hadits ini shahih oleh Albani pada kitabnya “Shahih wa Dhai’if Sunan Abi Dawud”.
Sebenarnya hadis-hadis diatas itu muncul diakibatkan seseorang itu melakukan hal yang sia-sia ketika sedang menunggu sholat atau setelah sholat. Dizaman Nabi, para sahabat itu terkadang suka melakukan hal yang sia-sia seperti tasybik tersebut. Nabi sebenarnya menginginkan kita para hambanya untuk melakukan zikir selalu ketika berada di mesjid, baik itu setelah ataupun sebelum sholat akan dilakukan, kalau seseorang itu sudah menjadi kebiasaan nya tasybik tersebut, maka seseorang tersebut tidak tertimpa larangan tersebut atau hukum tersebut.
Adapun mengayamkan jari-jemari tersebut, itu melambang seseorang tersebut lagi memikirkan sesuatu hal, yang mana pikirannya tersebut kosong/banyak hingga tidak lagi memfokuskan diri lagi kepada allah SWT.
Dan terkait hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar disana, yang dimaksudkan sesat (المغضوب) oleh beliau tersebut, yaitu melakukan tasybik tersebut sedang sholat, bukan setelah atau sebelum sholat. Hal inilah yang dimaksud oleh Umar, dan tasybik bukanlah gerakan sholat yang diajarkan oleh Nabi SAW, dan itu menambah gerakan-gerakan sholat. Sebagaimana hadis yang telah Nabi sampaikan kepada kita semua, dengan hadis yang mutawattir, yaitu:
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي ٱصَلِّي (رواه البخاري)
Artinya :“Shalatlah kalian (dengan cara) sebagaimana kalian melihatku shalat.” [HR. Bukhari, no. 628]
Dan perlu diperhatikan juga sebenarnya ulama terdahulu sudah memberi batasan pada tasybik tersebut, seperti yang difatwakan oleh Ismail pada kitab )Al- Hawi Lil Fatawa pada juz 2( yaitu,
وَجَمِعَ الْإِسْمَاعِيْلِيْ بِأَنَّ النَّهْيَ مُقَيِّدٌ بِمَا إِذَا كَانَ فِي الصَّلَاةِ أَوْ قَاصِدًا إِلَيْهَا ، إِذْ مُنْتَظِرُ الصَّلَاةِ فِي حُكْمٍ الْمُصَلِي
Artinya: “Menurut Ismail larangan tasybik adalah terbatas pada ketika melakukan sholat atau akan melakukan sholat karna orang yang menunggu sholat itu hukumnya sama dengan orang yang sholat dan menurut kebanyakan ulama”
Jadi tasybik itu boleh dilakukan diluar pekerjaan ibadah sholat seperti yang disampaikan oleh Ismail tersebut, sebenarnya pada hadis lain pun nabi juga pernah melakukan tasybik itu, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al- As’ariy yaitu,
عَنْ الْنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : ( إِنَّ الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا) وَ شَبَّكَ أَصَابِعَهُ
Artinya : “telah menceritakan kepada kami Khallad bin Yahya berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Burdah bin Abdullah bin Abu Burdah dari Kakeknya dari Abu Musa dari Nabi Muhammad SAW beliau bersabda: Sesungguhnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.“ kemudian beliau mengayamkan jari jemarinya. (HR. Imam Bukhari, nomor hadits 481).
Dan ada juga hadis yang nabi sendiri memiliki kebiasaan dalam tasybik tersebut, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ صَلى بِنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتِي الْعِشِيِّ قَالَ ابْنُ سِيْرِيْنَ سَمَّاهَا أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَكِنْ نَسِيْتُ أَنَا قَالَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوْضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّهُ غَضْبَانُ وَوَضَعَ يَدَاهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ وَوَضَعَ خَدَّهُ الْأَيْمَنَ عَلَى ظَهْرِ كِفِّهِ الْيُسْرَى وَ خَرَجَتِ السُّرْعَانُ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالُوْا قَصُرَتِ الصَّلَاةُ وَ فِي القَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَ عُمَرُ فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ وَ فِي الْقَوْمِ رَجُلٌ فِي يَدَيٌهِ طُوْلٌ يُقَالُ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالَ يَا رَسَوْلَ اللهِ أَنَسِيْتَ أَمْ قَصُرَتِ الصَّلَاةُ قَالَ لَمْ أَنْسَ وَ لَمْ تَقْصُرْ فَقَالَ أَكَمَا يَقُوْلُ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالُوْا نَعَمْ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى مَا تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ وَ سَجَدَ مِثْلَ سُجُوْدِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَ كَبَّرَ ثُمَّ كَبَّرَ وَ سَجَدَ مِثْلَ سُجُوْدِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسِهِ وَ كَبَّرَ فَرُبَّمَا سَأَلُوهُ ثُمَّ سَلَّمَ فَيَقُوْلُ نُبِئْتُ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ قَالَ ثُمَّ سَلَّمَ
Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah bersama kami melaksanakan salah satu dari shalat yang berada di waktu malam.” Ibnu Sirin berkata, “Abu Hurairah menyebutkan menyebutkan (nama) shalat tersebut, tetapi aku lupa.” Abu Hurairah mengatakan, “Beliau shalat bersama kami dua rakaat kemudian salam, kemudian beliau mendatangi kayu yang tergeletak di masjid. Beliau lalu berbaring pada kayu tersebut seolah sedang marah dengan meletakkan lengan kanannya di atas lengan kirinya serta menganyam jari jemarinya, sedangkan pipi kanannya diletakkan pada punggung telapak tangan kiri. Kemudian beliau keluar dari pintu masjid dengan cepat. Orang-orang pun berkata, “Apakah shalat telah diqashar (diringkas)?” Padahal di tengah-tengah orang banyak tersebut ada Abu Bakar dan ‘Umar, dan keduanya enggan membicarakannya. Sementara di tengah kerumunan tersebut ada seseorang yang tangannya panjang dan dipanggil dengan nama Dzul Yadain, dia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Tuan lupa atau shalat diqashar?” Beliau menjawab: “Aku tidak lupa dan shalat juga tidak diqashar.” Beliau bertanya: “Apakah benar yang dikatakan Dzul Yadain?” Orang-orang menjawab, “Benar.” Beliau kemudian maju ke depan dan mengerjakan shalat yang tertinggal kemudian salam. Setelah itu beliau takbir dan sujud seperti sujudnya yang dilakukannya atau lebih lama lagi. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan takbir, kemudian takbir dan sujud seperti sujudnya atau lebih lama lagi, kemudian mengangkat kepalanya dan takbir.” Bisa jadi orang-orang bertanya kepadanya (Ibnu Sirin), apakah dalam hadits ada lafazh ‘Kemudian beliau salam’ lalu ia berkata; aku mendapat berita bahwa Imran bin Hushain berkata; kemudian beliau salam.” (HR. Imam Bukhari, nomor hadits 482).
Jadi kesimpulan yang dapat kita ambil dari hikmah diatas yaitu,
Pertama, larangan dari tasybik diatas bukan bermaksud kepada larangan yang sampai pada hukum haram, tetapi itu perkara hal yang mubah dan makruh. Dan tujuan dari hadis itu, agar ibadah kepada allah SWT fokus hanya kepada allah-lah pandangan atau wajah kita, adapun haram hukumnya jika dibawakan tasybik itu kepada sholat.
Kedua, Nabi sebagai uswah dan qudwah manusia, ternyata dari segi psikologis atau kebiasaan Nabi SAW sendiri pernah melakukan tasybik tersebut, seperti mengingat akan hal sesuatu yang terlupakan oleh beliau, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah diatas. Jadi tasybik tersebut hal perkara yang mubah saja diluar amalan sholat/ibadah.
Ketiga, jika seseorang melihat dari hadis diatas, itu termasuk hadis yang mukhtalif dari segi matannya. Karna terdapat larangan dan kebolehan pada hadis diatas. Dan penyelesaian diatas itu termasuk cara Jam’u wa Taufiq dalam penyelesaian hadis yang bertentangan diatas.
Biodata Diri
Nama : Hafisto Yudistira
Email : hafistoyudistira@gmail.com
Tempat/Tanggal Lahir : Bukittinggi/09-11-2002
Universitas : UIN Syech Djambek Djambek Bukittinggi
Fakultas/Prodi : Fakultas Ushulluddin Adab dan Dakwah/Ilmu Hadis