Indeks

Pulang yang Terlambat

Bukittinggi, 8 Mei 2025

Pagi itu, langit Bukittinggi membentang bersih, hanya dihiasi semburat awan tipis. Udara sejuk merayap lembut di kulit, menusuk hingga ke tulang. Dingin yang menenangkan, khas kota kecil di perut Sumatra, tempat ribuan kaki wisatawan berlalu-lalang di antara deretan toko dan bangunan tua.

Di sudut sebuah trotoar yang mulai ramai, duduklah seorang lelaki paruh baya.
Tubuhnya membungkuk lelah di atas bangku kayu reyot. Kemeja lusuh menempel di badannya, kusam dan penuh noda. Aroma masam bercampur keringat menguar perlahan, menyatu dengan bau asap knalpot yang memenuhi udara. Rambut panjangnya tergerai acak-acakan, tak pernah lagi mengenal sisir.

Wajahnya, cekung dan keriput, menatap kosong ke arah jalanan. Sesekali matanya mengikuti langkah cepat pejalan kaki atau motor yang meraung bising melewatinya.
Namun, sorot itu kosong.
Seperti tubuh yang duduk di sana, jiwanya seakan tertinggal jauh di masa lalu.

Dalam hiruk-pikuk kota, pikirannya melayang—kepada seorang wanita yang pernah mendampinginya, kepada tawa anak-anak yang dulu riang berlarian memanggilnya, “Ayah!”
Kini, semua hanya bayang.

Dada lelaki itu sesak. Ia menarik napas panjang, berat, seolah mengumpulkan kekuatan dari udara dingin yang menikam.

“Aku sendiri yang menghancurkan segalanya,” gumamnya dalam hati.
“Aku yang melupakan mereka. Aku yang meninggalkan tanggung jawabku sebagai suami dan ayah.”

Bayangan kelam terlintas—wanita lain, kata-kata manis yang dulu mengaburkan akal sehatnya. Ia tergoda, terpesona, dan akhirnya berpaling.
Tanpa restu istri pertama, ia menikah lagi, mabuk dalam kebahagiaan semu.

Tahun-tahun berlalu. Sedikit demi sedikit, harta bendanya menguap. Dan wanita itu, yang dulu begitu manis, perlahan menunjukkan wajah sebenarnya.
Cinta berubah menjadi penolakan.
Sampai akhirnya, ia diusir dari rumah, dengan kata-kata yang masih membekas pedih di hatinya:
“Pergilah. Kembalilah ke istri pertamamu!”

Tangis tak tertahan.
Air mata meleleh, mengalir pelan di wajah yang digurat usia. Ia terisak, tak peduli pada mata-mata asing yang memandanginya di tengah jalanan yang terus bergerak.

Sejenak, dunia terasa berhenti.
Hanya ada dirinya, sepi, dan pertanyaan yang menggantung di udara pagi:
“Masihkah ada pintu yang terbuka untukku? Masihkah ada hati yang mau menerimaku kembali?”

Penulis: Eri JM
Exit mobile version