Tiada Maaf

Bukittinggi, 4 April 2025

“Maaf.”

Mungkin kata itulah yang paling layak diucapkan. Untuk istri. Untuk anak. Dan untuk dirinya sendiri.

Malam itu, udara Bukittinggi begitu sejuk, tapi di dadanya terasa sesak. Jalanan mulai dipenuhi orang-orang yang tersenyum, membawa kue, bunga, dan amplop kecil di tangan. Suara petasan sesekali terdengar memecah langit. Takbir mulai menggema dari berbagai penjuru, melambungkan rasa haru bagi mereka yang pulang dengan kemenangan.

Tapi tidak baginya.

Ia berjalan pelan, seperti bayangan tanpa tujuan. Setiap langkah terasa berat. Matanya menatap ke depan, namun pikirannya jauh tertinggal di masa lalu. Di sebuah bangku kayu reyot, di depan gudang tua yang dulu tempatnya duduk menunggu jemputan sang istri, kini ia kembali duduk—sendirian.

Ia menjatuhkan tubuh, membiarkan dingin bangku itu meresap sampai ke tulang. Tak ada yang menoleh padanya. Tak ada yang bertanya siapa dia. Ia hanya bagian dari pemandangan yang tak diinginkan.

Semua karena dirinya.
Dulu, ia adalah suami yang selalu bangga bisa membelikan baju baru untuk anaknya saat lebaran. Setiap pagi, ia bekerja keras. Setiap malam, ia pulang dengan peluh, tapi juga dengan senyum. Anak kecilnya selalu menanti di depan pintu, memeluknya sambil tertawa.

Tapi semuanya berubah.
Ia mengenal judi online dari seorang teman. Awalnya hanya coba-coba. Sedikit uang, lalu menang. Kemenangan itu candu. Perlahan, gaji tak cukup. Tabungan habis. Perhiasan istri menyusul. Motor dijual. Rumah disekat untuk bayar utang. Sampai akhirnya, yang tersisa hanya penyesalan.

Dan kini, ia tak lagi punya rumah. Tak lagi punya keluarga.

Istrinya mengusirnya. Dengan wajah yang dulu penuh kasih, kini berubah dingin. “Pergilah,” katanya, “bawa semua pakaianmu. Aku tak sanggup lagi hidup denganmu.”

Air matanya mulai mengalir. Bukan karena diusir, tapi karena menyadari betapa bodohnya ia membiarkan semua itu terjadi.

Malam ini, suara takbir yang dulu membuat hatinya bergetar karena kemenangan, kini menyayat karena kekalahan. Tangisnya pecah, seiring suara takbir dari masjid terdekat. Air mata membasahi pipi yang tak lagi dipedulikan siapa pun.

Dalam benaknya, wajah anaknya muncul jelas.
Tawa kecil. Pelukan hangat. Pertanyaan polos, “Ayah di mana?”

Ia ingin pulang. Ingin memeluk anak itu. Memohon maaf pada istrinya. Tapi semua itu hanya tinggal niat, tertahan dalam dada yang penuh sesal. Keluarga istrinya sudah menutup pintu untuknya.

Ia menatap langit malam Bukittinggi. Bintang-bintang seolah ikut mengejeknya.
“Di mana aku akan tidur malam ini?” bisiknya.

Lantai trotoar yang dingin, bangku tua ini, atau mungkin hanya kesepian?

Dan di tengah keramaian, saat semua orang merayakan cinta dan kemenangan, seorang lelaki duduk diam dalam sunyi. Menyaksikan hidupnya runtuh, perlahan, oleh tangannya sendiri.

Penulis: Eri JM