Nabila Inita Zahra1, Silfia Hanani2
1Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, nabilainitazahra253@gmail.com
2Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Silfiahanani@uinbukittinggi.ac.id
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah cerminan dari upaya formalisasi hukum Islam ke dalam kerangka hukum nasional Indonesia tanpa harus menunggu pengesahan melalui jalur legislatif.
Keberadaannya menjawab kebutuhan praktis lembaga peradilan agama dalam menangani perkara umat Islam, khususnya dalam ranah perkawinan, kewarisan, dan wakaf.
Meskipun bukan produk legislasi DPR, KHI telah menjadi rujukan otoritatif karena dibentuk atas dasar konsensus para ulama, akademisi, dan praktisi hukum.
Ini menunjukkan bahwa KHI merupakan contoh hukum Islam yang tidak bersifat tekstual-legalistik, melainkan interpretatif dan institusional.
Secara sosiologis, KHI bisa dilihat sebagai hasil konstruksi sosial masyarakat Muslim Indonesia.
Banyak ketentuan di dalamnya tidak selalu merujuk pada mazhab fikih tertentu secara rigid, melainkan lebih pada nilai keadilan dan kemaslahatan.
Hal ini memperlihatkan bahwa hukum Islam yang dikodifikasikan dalam KHI telah mengalami kontekstualisasi, sehingga mampu menjadi solusi atas persoalan sosial yang kompleks.
Konsep seperti keadilan gender, perlindungan terhadap anak, dan peran negara dalam pernikahan diatur lebih lunak dan progresif dibandingkan teks fikih klasik, mencerminkan pergeseran paradigma fiqh menuju maqashid al-shariah.
Dalam pendekatan politik hukum, KHI adalah kompromi antara aspirasi umat Islam dan prinsip-prinsip kebangsaan yang pluralistik.
Negara tidak serta-merta mengadopsi syariat secara keseluruhan, namun memberikan ruang yang proporsional dalam konteks hukum perdata bagi umat Islam.
KHI menjadi alat legitimasi bagi negara untuk mengatur urusan keagamaan secara sah, sekaligus menghindari konflik 1 ideologis yang mungkin muncul jika hukum Islam diberlakukan secara totalitas.
Dengan begitu, KHI menjembatani antara keinginan untuk Islamisasi hukum dan perlunya menjaga kohesi sosial dalam masyarakat multikultural.
Dari sisi akademik, KHI menjadi objek kajian yang menarik karena menggambarkan dinamika antara tradisi dan modernitas.
Ia dapat dianalisis melalui pendekatan hermeneutik hukum, yaitu bagaimana teks-teks hukum Islam dikonstruksi ulang dalam konteks kontemporer.
Selain itu, kajian hukum progresif melihat KHI sebagai hasil dari proses pembaruan hukum Islam yang lebih menekankan pada keadilan substantif daripada kepatuhan literal.
Oleh karena itu, pengembangan KHI ke depan sangat bergantung pada kemampuan akademisi, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk terus merespons perubahan zaman melalui reinterpretasi hukum Islam secara kontekstual.
Sebagai penutup, KHI bukan hanya sekadar dokumen hukum, melainkan representasi dari interaksi antara agama, negara, dan masyarakat. Ia hidup dalam praktik sosial dan selalu terbuka terhadap revisi.
Perubahan terhadap KHI hendaknya dilakukan secara inklusif dengan mempertimbangkan partisipasi publik dan kebutuhan umat.
Dengan demikian, KHI tetap menjadi instrumen hukum yang responsif dan relevan, sekaligus simbol bahwa hukum Islam di Indonesia tidak stagnan, tetapi terus bergerak mengikuti perkembangan masyarakat dan zaman.