Ilustrasi gambar, siluet (Google)
Kota nan damai di kaki Gunung Marapi, pernah menjadi saksi kebahagiaan satu keluarga kecil. Seorang pria hidup bahagia bersama istri dan anak semata wayangnya. Hidup mereka serba cukup—bahkan lebih dari cukup. Rumah megah berdiri kokoh, kendaraan terparkir rapi di halaman, dan masa depan seolah terbentang luas di hadapan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun segalanya berubah begitu cepat, tanpa aba-aba. Secepat air menghilang ditelan lautan.Semuanya bermula ketika sang suami mulai mencoba peruntungan di dunia judi online. Awalnya hanya iseng. Satu-dua kali menang membuatnya ketagihan. Ia yakin, suatu hari akan menang besar dan menggandakan kekayaan mereka.
Namun kenyataan berkata lain. Kekalahan demi kekalahan menumpuk. Utang merajalela. Aset keluarga mulai dijual satu per satu untuk menutup lubang yang tak pernah tertutup. Sang istri menangis, memohon, mengingatkan—namun semua kata-katanya tak pernah sampai.
Suaminya terus terpaku pada mimpi semu akan “kemenangan besar”. Hingga suatu hari, semuanya benar-benar runtuh. Ia ditangkap polisi karena terbukti terlibat dalam jaringan judi online, juga terjerat utang dari rentenir yang mengancam keselamatan keluarganya. Ia diadili dan divonis penjara beberapa tahun.
Istrinya tak pernah membayangkan harus melalui semua ini seorang diri. Ia berusaha kuat, menahan rasa malu dan beban berat sambil membesarkan anak yang masih balita. Namun tekanan mental perlahan menggerogoti fisiknya. Ia jatuh sakit. Dirawat beberapa hari. Dan akhirnya, napas terakhirnya terhembus dalam keheningan yang menyayat.
Tragisnya, anak mereka yang baru berusia lima tahun menyaksikan langsung kepergian ibunya. Sang ibu tersedak sesaat, kemudian diam tak bergerak. Bocah itu memanggil-manggil, mengguncang tubuh ibunya, menangis sekeras-kerasnya hingga tetangga berdatangan. Tak satu pun dari mereka sanggup menahan air mata. Mereka bergantian memeluk sang anak, mencoba menenangkannya—meski mereka tahu, luka itu takkan mudah sembuh.
Kabar kematian sang istri disampaikan kepada suaminya di dalam penjara oleh petugas lapas. Ia terdiam sesaat, lalu meraung, memukul-mukul dada, menyesali segalanya. Tangisan itu bukan hanya karena kehilangan, tetapi karena sadar: semua ini terjadi akibat dirinya sendiri.
Setiap malam ia duduk termenung di dalam sel. Menatap langit-langit penjara yang dingin, memikirkan anaknya yang kini menjadi yatim piatu secara emosional. Ia berdoa, memohon satu hal yang mustahil: agar waktu bisa diputar kembali.
Namun waktu tak pernah peduli pada penyesalan.
Ia hanya bisa berjanji—bahwa saat bebas nanti, ia akan menebus semuanya. Meninggalkan dunia gelap yang pernah ia masuki, dan menjadi satu-satunya pelindung bagi anaknya. Walau terlambat, ia ingin tetap menjadi ayah yang bisa dikenang… bukan karena kesalahannya, tapi karena perjuangannya untuk memperbaiki diri.
Takdir kadang datang sebagai ujian,
Namun pilihan tetap berada di tangan manusia.(**)
Bukittinggi, 30 Juli 2025
Penulis : Eri Piliang