Ilustrasi gambar, Google.
Langit Bukittinggi malam itu mendung, tapi tak hujan. Angin hanya berembus pelan, seolah enggan mencampuri urusan manusia yang sibuk menyimpan rahasia. Di sudut sebuah kafe kecil, dengan lampu remang dan musik jazz mengalun lirih, seorang pria paruh baya duduk membisu.
Kursinya ia dorong perlahan. Denting logamnya terdengar jelas di lantai, memecah keheningan. Ia bangkit, tubuhnya tampak berat—bukan karena usia, tapi beban yang menggantung di pikirannya. Tempat itu kini hanya meninggalkan jejak; aroma kopi dingin, suara tawa samar dari meja lain, dan kenangan pahit yang baru saja tercipta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Langkahnya goyah saat keluar dari kafe. Wajah yang tadi tampak tenang kini muram. Cahaya lampu jalan memantulkan guratan usia dan kecemasan yang tumbuh cepat di wajahnya. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencari—ya, mencari sosok wanita berambut sebahu yang tadi duduk bersamanya. Tapi tak ada. Kosong. Bahkan bayangannya pun tak tersisa.
Matanya mulai gelisah. Napasnya pendek-pendek. Ia tahu, waktu pulang sudah dekat.
“Apa yang akan aku katakan pada istriku?” batinnya bergemuruh.
Haruskah ia jujur? Atau pura-pura tak terjadi apa-apa?
Namun, pikirannya terhentak oleh fakta lain: sang istri… juga telah berkhianat. Sama seperti dirinya. Ironi? Atau karma yang datang terlalu cepat?
Kemudi ia genggam. Mobil melaju pelan menembus sepi malam. Hening. Hanya detak jarum jam dan suara mesin yang menemani. Jalanan seolah memanjang tak berujung. Di balik kaca, ia membayangkan—istrinya dan pria lain. Duduk berdua. Tertawa. Mungkin juga berpegangan tangan.
Dada pria itu bergemuruh. Ada panas yang naik ke kepala. Cemburu. Marah. Dan malu pada dirinya sendiri. Prasangka buruk menyerbu tanpa henti, seperti ombak menggulung tak memberi ruang bernapas.
Udara makin dingin. Daun-daun bergoyang pelan, embun mulai turun. Lampu jalan menyinari bunga di pinggir trotoar yang tampak layu, tersiksa terik siang. Tapi malam ini, embun datang sebagai penawar luka. Begitu pula dengan hati lelaki itu, yang diam-diam berharap ada keajaiban memulihkan segalanya.
Ia menarik napas panjang, lalu menghentikan mobil di sisi jalan. Tangan kirinya mematikan mesin. Ia bersandar, perlahan merebahkan tubuh di kursi. Matanya terpejam. Tidak untuk tidur, hanya untuk meringankan beban pikiran yang begitu sesak.
Namun pagi datang tanpa aba-aba.
Langkah kaki orang-orang mulai terdengar di trotoar. Obrolan kecil berubah jadi kerumunan.
“Pak… ini kenapa mobilnya berhenti dari semalam?”
“Coba dilihat…”
Suara panik mulai terdengar.
Dan di dalam mobil itu—ia masih bersandar. Matanya tertutup. Tapi kali ini… tak akan terbuka lagi. Pria paruh baya itu telah pergi, diam-diam, membawa penyesalan dan mimpi yang tak sempat diselesaikan.
Hanya embun pagi yang jadi saksi terakhir, menempel tenang di kaca jendela… menyelimuti kepergiannya yang sunyi..
Bukittinggi, 8 Agustus 2025
Penulis : Eri Piliang