PENANTIAN (Part 3)
Luka yang Belum Sembuh
Bukittinggi, 16 September 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Senja merayap perlahan di langit kampung, meninggalkan garis keemasan yang memudar di balik perbukitan. Angin membawa aroma tanah basah dan suara anak-anak yang baru saja pulang bermain. Di teras rumah kecil itu, perempuan muda tersebut berdiri terpaku, tak tahu harus merespons apa terhadap kehadiran lelaki yang dulu pernah membuat hidupnya runtuh.
Lelaki itu masih berdiri di depannya, menunduk dalam-dalam.
“Maafkan aku…” ulangnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Bocah kecil itu mendekat perlahan, memegang ujung baju ibunya. Matanya mengamati sosok ayahnya dengan rasa rindu yang ia sendiri tak bisa jelaskan. Ada sesuatu dalam tatapan polos itu — seakan ia takut jika ia berkedip, ayahnya akan menghilang lagi.
Perempuan muda itu menutup matanya sejenak. Hatinya berperang hebat.
Satu sisi ingin memaafkan — demi anaknya, demi keluarga kecil yang dulu pernah membuatnya begitu bahagia.
Namun sisi lain masih menyimpan luka yang belum pernah benar-benar sembuh.
“Apa yang kau cari di sini?” akhirnya ia bertanya. Suaranya pelan tapi jelas, seperti seseorang yang menyiapkan diri menghadapi kenyataan pahit.
Lelaki itu mengangkat wajahnya. Ada kekosongan di matanya, bercampur rasa bersalah yang begitu dalam.
“Aku salah,” ujarnya lirih. “Sangat salah. Aku bodoh. Aku tinggalkan kalian… demi sesuatu yang tak pernah benar-benar aku mengerti.”
Perempuan itu menggenggam tangan anaknya.
“Kenapa kembali sekarang? Setelah sekian lama?”
Lelaki itu menghela napas panjang.
“Hidup tak berjalan seperti yang kubayangkan. Aku kehilangan semuanya… termasuk perempuan yang kupilih. Dia pergi, dan aku tersadar… rumah yang kucari ternyata ada di sini. Pada kalian.”
Kata-katanya menggantung di udara, menghantam hati perempuan itu seperti desir angin malam yang dingin.
Namun, ia bukan lagi perempuan yang dulu — ia telah tumbuh, menguat, dan belajar berdiri sendiri.
“Kalau kau kembali hanya karena merasa kesepian,” ucapnya pelan, “aku tak butuh itu.”
Lelaki itu tertegun.
“Tidak… aku kembali karena aku ingin memperbaiki semuanya. Jika kau izinkan.”
Perempuan itu menunduk, menahan air mata.
“Luka yang kau buat terlalu dalam. Maaf bukan seperti menyalakan lampu… yang bisa tiba-tiba terang.”
Suasana kembali hening. Bocah kecil itu menatap kedua orang tuanya, tak mengerti kata-kata orang dewasa, tapi ia mengerti satu hal: ia ingin mereka bersama.
Dengan suara lirih, bocah itu berkata, “Ayah… jangan pergi lagi.”
Lelaki itu berlutut, memeluk anaknya. Air matanya jatuh tanpa ia mampu menahan.
“Ayah tidak akan pergi lagi,” jawabnya gemetar. “Tidak akan.”
Perempuan itu memalingkan wajah. Ada sesuatu di hatinya yang retak lagi — bukan karena luka, tetapi karena melihat anaknya menangis memohon sesuatu yang ia sendiri tidak yakin bisa ia berikan.
Ia lalu berkata dengan suara tegas, walau bergetar:
“Kau boleh tinggal malam ini. Tapi besok… kita bicarakan semuanya dengan kepala dingin. Aku tidak ingin mengambil keputusan hanya karena emosi.”
Lelaki itu mengangguk. Ia tidak berani meminta lebih.
Malam itu, ketika lampu minyak kecil menyala di sudut ruangan, perempuan itu duduk menatap suami dan anaknya yang tertidur berdampingan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, rumah itu terasa penuh kembali — namun penuh dengan pertanyaan, bukan kepastian.
Ia membelai rambut anaknya, lalu menatap langit-langit rumah yang mulai kusam.
Dalam hatinya ia berbisik:
“Ya Tuhan… tunjukkan aku jalan. Haruskah aku kembali membuka pintu untuk seseorang yang pernah menghancurkannya?”
Penantian panjang itu belum selesai.
Justru kini, babak baru mulai terbuka — antara masa lalu yang pahit dan masa depan yang belum terjawab.
Penulis : Eri piliang
Editor : Yopiherdiansyah





