Menunggu “ Sipasan ” Keliling Jam Gadang Oleh Yusrizal Karana Raksasa “Sipasan” tiba-tiba melintas di tengah kerumunan massa. Tetapi, alih-alih takut dengan binatang berbisa yang terkenal dengan jepitannya itu, masyarakat justeru berkerumun menyaksikan kelabang yang meliuk-liuk ditingkahi suara musik yang memekakkan telinga. Ya, “sipasan” ini ternyata sebuah pertunjukkan berupa arak-arakan yang menyerupai lipan yang digotong berkeliling kota. Orang Minangkabau menyebutnya sipasan.
Alat musik ritmis seperti tutup periuk atau yang biasa disebut simbal itu, dimainkan anak-anak remaja Tionghoa. Mereka membuat penonton terpukau dengan keunikan busana yang menarik dengan warna dominan merah sebagai simbol keberuntungan. Dipertunjukkan ini seperti oase di tengah kelangkaan seni tradisional Indonesia, yang kesohor sejak masa Dinasti Dagu pada abad ketiga sebelum Masehi itu.
Pertunjukkan ini biasanya diiringi dengan Tarian Naga atau Tari Barongsai, yang dibawakan pemuda dan remaja keturunan Tionghoa. Mereka ada yang berperan sebagai penarik dan pemusik yang mengiringi pertunjukkan, yang diadakan setiap Tahun Baru Imlek atau acara Cap Go Meh.
Festival Cap Go Meh 2574 yang bertepatan pada 5 Februari 2023 di Kota Padang memang sudah berlalu, namun hingga kini masih meninggalkan kesan dan cerita menarik, karena “sipasan” selalu menjadi pusat perhatian bagi masyarakat, terutama di kota-kota besar di Indonesia.
Di beberapa daerah, yang terlibat dalam Tarian Sipasan, Liang Liong atau Tarian Barongsai bukan hanya remaja atau pemuda keturunan Tionghoa. Mereka adalah warga setempat yang tidak memiliki darah keturunan Tionghoa atau bahkan tidak ada hubungan perkawinan sekali pun. Mereka seolah sudah menyatu sebagaimana filosofi orang Minang “Dima Bumi Dipijak Di Sinan Langik Dijunjuang”.
Seni budaya Tionghoa tradisional menjadi sebuah keberhasilan simbol akulturasi antara budaya Tionghoa dengan budaya Indonesia yang sudah terjalin sejak ratusan tahun silam. Namun belakangan ini, terjadi fenomena yang menarik, dimana keturunan warga Tionghoa kurang berminat melakoni tari tradisional tersebut. Hampir di semua daerah, seni tradisional itu dimainkan oleh pemuda atau remaja daerah setempat sebagai peran pengganti.
Di Bukittinggi Sumatera Barat, sudah puluhan tahun seni budaya Tionghoa itu tidak pernah muncul di depan publik. Bagai kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Begitulah nasib “Sipasan”, Tarian Naga atau Liang Liong dan Tarian Barongsai. Padahal, gelaran yang dipertunjukkan ini bisa menjadi hiburan bagi wisatawan domestik yang berkunjung ke kota wisata ini. Yossie, seorang wisatawan dari Jakarta membayangkan dan berharap, ada “sipasan” mengelilingi Jam Gadang, atau Liang Liong masuk ke Lubang Japang dan Barongsai menelusuri Ngarai Sianok.
Ketua Himpunan Tjinta Teman (HTT) Bukittinggi Ajie Sutiono mengakui, sudah puluhan tahun tari tradisional tersebut tidak diselenggarakan di Kota Bung Hatta ini. Hal itu disebabkan remaja dan pemuda keturunan Tionghoa sebagian besar berada di Padang, Pekanbaru, Medan, Jakarta, dan bahkan di luar negeri. Mereka sebagian besar melanjutkan pendidikan dan mencari penghidupan yang lebih baik.
Tak dapat dipungkiri, anak-anak keturunan Tionghoa yang berasal dari Bukittinggi banyak yang berhasil menempuh pendidikan dan bekerja di perusahaan ternama atau memiliki perusahaan di kota-kota besar. Mereka banyak yang berprofesi sebagai dokter, apoteker, ahli teknologi informatika, dan lain sebagainya.
Uniknya, jika anak-anaknya berhasil, mereka tidak bisa kembali lagi. Mereka justeru memboyong orangtua dan sanak keluarganya merantau, sebagaimana layaknya masyarakat Minangkabau dengan pantunnya “Karatau Madang di Hulu, Babuah Babungo Balun, Marantau Bujang Dahulu, di Rumah Paguno Balun”. Sudah menjadi tradisi, anak-anak Tionghoa Bukittinggi disekolahkan di Kota Padang dan kota-kota besar lainnya.
Masyarakat Tionghoa di Kota Bukittinggi jumlahnya juga relatif sedikit. Anggota komunitasnya hanya berkisar 100 kepala keluarga yang tergabung dalam organisasi HTT dan Himpunan Bersatu Teguh (HBT), yang berakhir di Padang. Dua organisasi paguyuban ini memunyai cabang di Padang Panjang, Payakumbuh, Bukittinggi dan Pekanbaru.
Masyarakat Tionghoa di Bukittinggi, sebagian sudah berusia 40 tahun ke atas. Dengan usia yang sudah tidak muda lagi itu, sulit bagi mereka untuk melakoni gelaran seni tari yang disertai arak-arakan, yang memang menguras banyak tenaga. Akibatnya, seni tradisional yang agung itu, mengalami mati suri setelah muncul konon sekitar tahun 1975, untuk yang terakhir kalinya.
Ajie Sutiono yang juga seorang wiraswasta mengeluhkan terjadinya krisis generasi muda khususnya usia remaja, untuk melanjutkan dan mengembangkan budaya senior yang menjadi warisan nenek moyang mereka. Ia bahkan pernah mengimbau agar anak-anak remaja dan pemuda Tionghoa segera kembali ke tanah kelahirannya Bukittinggi, jika selesai melanjutkan pendidikan.
“Tapi rata-rata mereka tidak mau kembali ke Bukittinggi,” ucap Ajie dengan tatapan kosong. Kegelisahan seorang Ajie juga memudarkan raut wajahnya yang sudah memasuki usia senja.
Sepertinya, imbauan itu perlu diperkuat dengan komitmen Pemerintah Kota Bukittinggi agar pengembangan budaya tradisional Tionghoa dapat dilestarikan. Dengan demikian, dipertunjukkan seni tradisional Tionghoa dapat menambah khasanah seni budaya Indonesia dan menjadi simbol akulturasi antara warga Tionghoa kelahiran Bukittinggi dengan anak nagari.
Kita juga tidak bisa menafikan keindahan Tari Barongsai Indonesia yang pernah mendapat juara lima dunia pada kejuaraan barongsai internasional di Genting Highland Malaysia, pada tahun 1999. Bahkan pada tahun-tahun berikutnya, seni budaya Tionghoa menjadi gelaran yang sangat ditunggu-tunggu masyarakat Indonesia. HBT dan HTT telah membuktikan kebangkitan kembali kesenian Tionghoa di tengah masyarakat kita.
Semoga “sipasan” tidak hanya bisa berkeliling di Kota Bukittinggi, tetapi juga mengikis Jam Gadang, sebagaimana kebiasaan lipan yang biasa dilakukan dengan jumlah kakinya yang banyak. (*)