Pulang yang Terlambat

- Redaksi

Senin, 28 April 2025 - 18:44 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bukittinggi, 8 Mei 2025

Pagi itu, langit Bukittinggi membentang bersih, hanya dihiasi semburat awan tipis. Udara sejuk merayap lembut di kulit, menusuk hingga ke tulang. Dingin yang menenangkan, khas kota kecil di perut Sumatra, tempat ribuan kaki wisatawan berlalu-lalang di antara deretan toko dan bangunan tua.

Di sudut sebuah trotoar yang mulai ramai, duduklah seorang lelaki paruh baya.
Tubuhnya membungkuk lelah di atas bangku kayu reyot. Kemeja lusuh menempel di badannya, kusam dan penuh noda. Aroma masam bercampur keringat menguar perlahan, menyatu dengan bau asap knalpot yang memenuhi udara. Rambut panjangnya tergerai acak-acakan, tak pernah lagi mengenal sisir.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Wajahnya, cekung dan keriput, menatap kosong ke arah jalanan. Sesekali matanya mengikuti langkah cepat pejalan kaki atau motor yang meraung bising melewatinya.
Namun, sorot itu kosong.
Seperti tubuh yang duduk di sana, jiwanya seakan tertinggal jauh di masa lalu.

Dalam hiruk-pikuk kota, pikirannya melayang—kepada seorang wanita yang pernah mendampinginya, kepada tawa anak-anak yang dulu riang berlarian memanggilnya, “Ayah!”
Kini, semua hanya bayang.

Dada lelaki itu sesak. Ia menarik napas panjang, berat, seolah mengumpulkan kekuatan dari udara dingin yang menikam.

“Aku sendiri yang menghancurkan segalanya,” gumamnya dalam hati.
“Aku yang melupakan mereka. Aku yang meninggalkan tanggung jawabku sebagai suami dan ayah.”

Bayangan kelam terlintas—wanita lain, kata-kata manis yang dulu mengaburkan akal sehatnya. Ia tergoda, terpesona, dan akhirnya berpaling.
Tanpa restu istri pertama, ia menikah lagi, mabuk dalam kebahagiaan semu.

Tahun-tahun berlalu. Sedikit demi sedikit, harta bendanya menguap. Dan wanita itu, yang dulu begitu manis, perlahan menunjukkan wajah sebenarnya.
Cinta berubah menjadi penolakan.
Sampai akhirnya, ia diusir dari rumah, dengan kata-kata yang masih membekas pedih di hatinya:
“Pergilah. Kembalilah ke istri pertamamu!”

Tangis tak tertahan.
Air mata meleleh, mengalir pelan di wajah yang digurat usia. Ia terisak, tak peduli pada mata-mata asing yang memandanginya di tengah jalanan yang terus bergerak.

Sejenak, dunia terasa berhenti.
Hanya ada dirinya, sepi, dan pertanyaan yang menggantung di udara pagi:
“Masihkah ada pintu yang terbuka untukku? Masihkah ada hati yang mau menerimaku kembali?”

Berita Terkait

‘ Terlambat Sudah “
Keterbukaan Informasi Terganjal: KJI Desak Pemimpin di Sumbar Terbuka pada Jurnalis
Sesal Yang Terlambat
Pejuang Keluarga
WAKTU MENJELANG
Jejak Kebersamaan dalam Putaran Waktu
PENANTIAN Part 2
SESAL SEMALAM Part 3

Berita Terkait

Kamis, 25 September 2025 - 15:32 WIB

‘ Terlambat Sudah “

Sabtu, 13 September 2025 - 13:56 WIB

Keterbukaan Informasi Terganjal: KJI Desak Pemimpin di Sumbar Terbuka pada Jurnalis

Sabtu, 6 September 2025 - 15:51 WIB

Sesal Yang Terlambat

Jumat, 29 Agustus 2025 - 10:28 WIB

Pejuang Keluarga

Kamis, 28 Agustus 2025 - 09:22 WIB

WAKTU MENJELANG

Berita Terbaru

Artikel

‘ Terlambat Sudah “

Kamis, 25 Sep 2025 - 15:32 WIB